Semalam di Singapore (7)

Sang sopir taxi seperti bisa menangkap rasa penasaran yang terlintas di benak kami berdua. Dia pun bercerita, bahwa tarif wanita di kawasan itu bervariasi. Wanita berwajah mandarin berbeda harganya dengan yang berwajah India. Begitu juga, wanita yang sudah berumur beda dengan yang masih muda.

“Yang murah itu biasanya yang masuk dari Batam,” katanya. “Apa mau mencoba?” sopir itu seperti menggoda kami.

Kami nyaris tersedak mendengar pertanyaan spontan itu. Untung saja, pesanan kami segera tiba. Kami memilih tidak menjawab. Hidangan di atas meja itu kini mulai kami tarik lebih mendekat, agar nyaman ketika menyantap. Kini kami pun mulai sibuk dengan makanan masing-masing. Sesekali saja kami saling menyahut.

Saat menyantap hidangan, sering mata kami melirik ke sana ke mari, apalagi jika ada tamu yang datang. Persis seperti orang hutan yang baru turun ke kota. Suasana di tempat itu memang terlalu indah untuk dilewatkan. Makanya kami sering mencuri-curi pandang, lebih-lebih pada cewek berwajah bersih dan fresh.

Tak terasa, kami sudah hampir mengosongkan piring masing-masing. Itu saking laparnya kami malam itu. Soal apakah makanan di situ enak seperti kata si sopir tak kami perdulikan. Yang penting, kini perut sudah terisi. Ini akan menambah energi untuk kami, terutama menghabiskan malam yang hampir pamit. Rencana kami pun sudah bulat, bahwa kami tak perlu mencari penginapan. Karena serba tanggung. Belum lagi, kami sama sekali tak tahu berapa tarif kamar hotel di Singapore.

Di sela-sela menuntaskan melahap sisa makanan, obrolan kami berlanjut. Rasa penasaran berapa tarif sekali booking cewek di kawasan itu, memaksa saya mencari jawab.

“Berapa biasanya sekali booking cewek di sini?” saya membuang jauh-jauh perasaan tak enak.

Teman saya, Teuku Irwani, terkejut mendengar pertanyaan tersebut. Dia tidak mengira saya akan seberani itu.

“Apa serius mau booking cewek?” sang sopir juga setengah tak percaya. Saya tarik nafas dalam-dalam sebelum mengeluarkan suara. “Saya hanya ingin tahu saja, berapa tarifnya,” saya tak bisa menyembunyikan rasa malu. “Minimal saya tahu, apalagi jika nanti ada yang bertanya,” saya memberi alasan.

“Bilang saja mau booking,” teman saya menyeletuk. Selepas itu dia tertawa keras, sampai-sampai beberapa pasang mata di warung itu memalingkan muka melihat ke arah kami.

“Harganya tergantung pada berapa lama kita booking,” jawab sang sopir. “Kalau untuk sekali kencan (short time) ya paling 50 dollar (Singapore),” lanjutnya.

“Kalau untuk semalam?”

“Itu mahal, bisa 400-700 dollar (Singapore),” jelasnya.

Menurut si sopir, untuk sekali kencan yang 50 dollar sudah termasuk sewa kamar.

“Harga sekali pakai 45 dollar, yang 5 dollar lagi untuk sewa kamar,” jelasnya.

Saya perhatikan, di sepanjang jalan itu memang banyak berdiri penginapan sederhana. Penginapan-penginapan di kawasan itu memang khusus untuk keperluan kencan. Jarang ada yang khusus menginap di situ.

Si sopir kini tahu, bahwa pertanyaan saya soal harga hanya sekedar basa-basi. Dia yakin, kami tak berniat untuk mencobanya. Apalagi, dia tahu kami datang dari Aceh yang Islamnya kuat.

“Suatu saat Saya ingin ke Aceh, melihat langsung bagaimana perkembangan Islam di sana,” katanya. Dia mengaku banyak mendengar soal Aceh, daerah yang dikenal dengan daerah yang memberlakukan hukum Islam. Dia berharap, jika sempat ke Aceh, kami mau menemaninya jalan-jalan.

Selanjutnya, tak banyak topik yang kami bicarakan lagi. Dia pun menawarkan, apakah sudah saatnya berangkat. Kami mengangguk. Selesai melunasi bayaran, kami segera menyingkir dari warung yang kini semakin ramai saja. Di jalan-jalan juga cewek berpakaian menor makin banyak. Ada yang sudah mengapit pasangan, ada yang masih setia mencari mangsa.

“Sekarang kemana lagi?” si sopir taxi membuka pembicaraan begitu kami sudah berada di dalam mobil. Kami meminta diantarkan kembali ke kawasan patung Merlion, dan berniat menghabiskan malam di sana.

Namun, si sopir mengusulkan bagaimana kalau kami mampir dulu di Mustafa Center, pusat perbelanjaan. “Kalian bisa membeli oleh-oleh di sana untuk dibawa pulang. Mustafa itu buka 24 jam,” katanya menjelaskan. Kami mengiyakan.

Jadilah, kami meluncur ke Mustafa Center. Dalam perjalanan, tak banyak yang kami bicarakan. Pasalnya, kami masih belum puas menikmati gemerlapnya Singapore di malam hari. Jadi, pandangan kami tak pernah lepas dari memandang ke segala sisi, melihat pemandangan kota.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba, sang sopir menghentikan lamunan kami. “Di mana kalian menaruh passport?” tanya dia. Tak menunggu kami menjawab, dia melanjutkan, “di depan ada razia. Pasport kantongi saja. Nanti kalian diam saja, biar saya yang bicara,” lanjutnya. Dia pun memastikan agar kami memakai sabuk dengan benar.

Terus terang, kami gugup juga. Soalnya, kok ada razia selarut itu. “Mereka sering menggelar razia dadakan, mencari orang yang masuk secara illegal. Atau biasanya kalau ada kasus,” jelasnya.

Untung saja, mobil kami tidak distop, dan dibiarkan segera lewat. Kami pun jadi tenang. Tak lama kemudian, kami memasuki kawasan Mustafa Center. Dia berhenti tepat di depan pintu masuk.

“Kalian masuk saja, belanja segala keperluan. Saya mau ke tempat lain sebentar. Nanti saya balik menjemput kalian,” katanya. Kami hanya mengangguk. Dalam hati muncul rasa takut juga, kalau tiba-tiba dia tidak balik lagi. Soalnya, selarut itu sulit mencari taxi.

“Tenang saja, tak mungkin dia tak menjemput kita. Soalnya ongkos taxi belum kita bayar,” kata teman saya. Si sopir pamit sebentar, dan segera melajukan taxinya. Kami pun melangkahkan kaki memasuki pusat perbelanjaan yang buka 24 jam itu.[] --->bersambung

Post a Comment

Previous Post Next Post